Negeri 5 Menara: Novel vs Film
Sejak film Negeri 5 Menara ini tayang perdana, aku sudah penasaran ingin nonton. Tapi berhubung tak ada partner yang oke buat nonton, akhirnya tertunda-tunda. Inginnya sih nonton bareng suami, tapi suamiku tak berminat. Sepertinya dia berpendapat, film Indonesia kebanyakan tidak bermutu. Aku maklum, karena film-film Indonesia yang beredar saat ini memang kurang sedap ditonton, dibandingkan dengan film-film dari luar. Tapi film Negeri 5 Menara ini tidak seperti film-film Indonesia kebanyakan. Film yang diangkat dari sebuah novel ini, memang sarat makna dan pelajaran hidup. Aku sudah sangat tahu ceritanya, karena aku sudah membaca novelnya. Dan novel Negeri 5 Menara termasuk novel terbaik yang pernah aku baca. Sangat inspiratif, menggugah, dan menyentuh hati. Itulah yang membuatku penasaran dengan filmnya, aku berharap filmnya juga sebagus novelnya.
Akhirnya akhir pekan kemarin, aku berdua dengan Lita, putriku, memutuskan nonton film ini. Kebetulan sebelumnya Lita cerita padaku “Ma, temen-temenku di kelasku udah pada nonton Negeri 5 Menara, katanya bagus loh Ma.. Aku jadi penasaran”. Aha! Akhirnya aku dapat partner nonton juga. Inilah asyiknya punya anak perempuan yang punya hobi sama.. bisa seru-seruan bareng.. hihihi.. Saatnya kita nonton!
******
“Yaaaah…” gumamku menunjukkan kekecewaan. Baru 5 menit film berlangsung, aku sudah kecewa dengan film ini. Adegan awal Alif dan sahabatnya, Randai, cukup membuatku berkerut. Sebenarnya bukan adegannya sih, tapi pemainnya. Aku kecewa dengan pemeran Randai, kenapa tak seganteng bayanganku yah?. Emang sih, di novel tidak disebutkan kalau si Randai tuh ganteng, tapi setidaknya menurut bayanganku, seharusnya Randai lebih ganteng dari Alif. Okelah, jangan kecewa dulu. Lihat saja kelanjutannya.
Ada amak dan ayah. Aku kesemsem dengan akting David Khalik sebagai ayah Alif. Dia tampak begitu kebapakan dan sangat arif. Pas sekali dengan gambaran di novelnya. Apalagi saat adegan percakapan Alif dan ayah, setelah menjual kerbau, demi biaya Alif sekolah. Ada dialog yang membuatku berkesan, kira-kira seperti ini “Hidup itu harus dijalani dulu, baru kita bisa tahu mana yang terbaik bagi kita”. Sayangnya akting menawannya tidak diimbangi dengan akting Lulu Tobing sebagai amak. Menurutku akting Lulu Tobing di sini sangat biasa, ‘feel’nya kurang menggigit.
Memasuki adegan awal kegiatan belajar mengajar di Pondok Madani, aku cukup terpana saat Ustad Salman memasuki kelas. Ya ampun! Ternyata pemeran Ustad Salman tuh Donny Alamsyah. Haduuh.. kalau ustadnya macho plus keren gini, aku rela banget jadi santrinya.. hihihi.. * salah fokus*. Selain pemeran Ustad Salman, ada lagi yang membuatku salah tingkah sendiri, yaitu pemeran Kak Fahmi, Andhika Pratama. Tak tahu kenapa, rasanya di film ini Andhika Pratama tampak lebih ganteng dari biasanya. Kalau ada santri senior seganteng ini, aku mau banget jadi santri juniornya.. halah.. lagi-lagi salah fokus.. :D.
Pemeran Ustad Salman dan Kak Fahmi memang cukup memukau, tapi sayang sekali pemeran Kyai Rais sangat jauh dari ekspektasiku. Aku membayangkan sosok Kyai Rais adalah sosok yang sangat berwibawa dan bersemangat, dengan pidato-pidatonya yang menggugah. Jadi miriplah dengan wibawanya Dumbledore di film Harry Potter. Tapi ternyata di film ini acting Ikang Fawzi sebagai Kyai Rais terkesan dipaksakan. Dan bagiku jauh dari kesan berwibawa dan disegani.
Nah untuk pemeran para Sahibul Menara, menurutku sudah sangat pas, dan sesuai dengan gambaran karakternya di novel. Baso dari Gowa, Atang dari Bandung, Said dari Surabaya, Raja dari Medan, Dulmajid dari Madura, dan Alif dari Padang. Terutama karakter Baso, aku suka sekali. Sosok remaja yang bersemangat, cerdas, menginspirasi, dan punya tujuan mulia. Dan sosok Baso ini, diperankan dengan sangat apik oleh Billy Sandy. Siapa dia? Aku juga baru dengar namanya.. hehe.
Dari segi pemainnya memang ada beberapa yang tidak sesuai dengan bayanganku, tapi dari segi alur cerita, aku juga kecewa. Karena tidak semua bagian cerita di novelnya di tampilkan di film ini, jadi kesannya antar adegan seperti lompat-lompat, layaknya cuplikan saja. Tapi aku cukup memaklumi, karena tentunya tidak mungkin menampilkan semua adegan di novel ke dalam film yang hanya berdurasi kurang dari 2 jam itu. Sayangnya ada beberapa bagian di novel yang menurutku menarik untuk divisualkan, justru malah tak ditampilkan di filmnya.
Namun, terlepas dari itu semua, film ini memang layak untuk ditonton. Apalagi pemandangan yang ditampilkan sangat indah. Membuat kita sadar bahwa alam Indonesia memang mempesona. Juga gambaran persahabatan remaja-remaja dari berbagai daerah di pelosok tanah air yang hidup dalam satu asrama, digambarkan dengan indah pula. Itulah Indonesia :).
*****
Dalam perjalanan pulang, aku merasa masih ada rasa kurang ‘klik’ dengan filmnya. Karena menurutku novelnya jauh lebih bagus. Semangat ‘Man jadda wajada’, terasa lebih hidup di novelnya. Tiba-tiba Lita meraih tanganku sambil berkata dengan wajah sumringah “Ma, filmnya bagus banget ya? Aku udah nyangka loh, pasti yang nonton banyak.. Tuh kan bener.. soalnya filmnya bagus sih.. Man jadda wajada!”. Alhamdulillah, ada rasa lega di hatiku saat mendengar kata-kata putriku itu. Ternyata pesan yang terkandung di film Negeri 5 Menara ini, sampai juga di hati dan pikirannya, walaupun dia tentu saja belum pernah membaca novelnya. Aaah, senangnya bisa memberikan hiburan yang mendidik untuk putriku :).
gambar dari sini |
******
“Yaaaah…” gumamku menunjukkan kekecewaan. Baru 5 menit film berlangsung, aku sudah kecewa dengan film ini. Adegan awal Alif dan sahabatnya, Randai, cukup membuatku berkerut. Sebenarnya bukan adegannya sih, tapi pemainnya. Aku kecewa dengan pemeran Randai, kenapa tak seganteng bayanganku yah?. Emang sih, di novel tidak disebutkan kalau si Randai tuh ganteng, tapi setidaknya menurut bayanganku, seharusnya Randai lebih ganteng dari Alif. Okelah, jangan kecewa dulu. Lihat saja kelanjutannya.
Ada amak dan ayah. Aku kesemsem dengan akting David Khalik sebagai ayah Alif. Dia tampak begitu kebapakan dan sangat arif. Pas sekali dengan gambaran di novelnya. Apalagi saat adegan percakapan Alif dan ayah, setelah menjual kerbau, demi biaya Alif sekolah. Ada dialog yang membuatku berkesan, kira-kira seperti ini “Hidup itu harus dijalani dulu, baru kita bisa tahu mana yang terbaik bagi kita”. Sayangnya akting menawannya tidak diimbangi dengan akting Lulu Tobing sebagai amak. Menurutku akting Lulu Tobing di sini sangat biasa, ‘feel’nya kurang menggigit.
Memasuki adegan awal kegiatan belajar mengajar di Pondok Madani, aku cukup terpana saat Ustad Salman memasuki kelas. Ya ampun! Ternyata pemeran Ustad Salman tuh Donny Alamsyah. Haduuh.. kalau ustadnya macho plus keren gini, aku rela banget jadi santrinya.. hihihi.. * salah fokus*. Selain pemeran Ustad Salman, ada lagi yang membuatku salah tingkah sendiri, yaitu pemeran Kak Fahmi, Andhika Pratama. Tak tahu kenapa, rasanya di film ini Andhika Pratama tampak lebih ganteng dari biasanya. Kalau ada santri senior seganteng ini, aku mau banget jadi santri juniornya.. halah.. lagi-lagi salah fokus.. :D.
gambar Ustad Salman dari sini |
gambar Kak Fahmi dari sini |
Nah untuk pemeran para Sahibul Menara, menurutku sudah sangat pas, dan sesuai dengan gambaran karakternya di novel. Baso dari Gowa, Atang dari Bandung, Said dari Surabaya, Raja dari Medan, Dulmajid dari Madura, dan Alif dari Padang. Terutama karakter Baso, aku suka sekali. Sosok remaja yang bersemangat, cerdas, menginspirasi, dan punya tujuan mulia. Dan sosok Baso ini, diperankan dengan sangat apik oleh Billy Sandy. Siapa dia? Aku juga baru dengar namanya.. hehe.
Dari segi pemainnya memang ada beberapa yang tidak sesuai dengan bayanganku, tapi dari segi alur cerita, aku juga kecewa. Karena tidak semua bagian cerita di novelnya di tampilkan di film ini, jadi kesannya antar adegan seperti lompat-lompat, layaknya cuplikan saja. Tapi aku cukup memaklumi, karena tentunya tidak mungkin menampilkan semua adegan di novel ke dalam film yang hanya berdurasi kurang dari 2 jam itu. Sayangnya ada beberapa bagian di novel yang menurutku menarik untuk divisualkan, justru malah tak ditampilkan di filmnya.
Namun, terlepas dari itu semua, film ini memang layak untuk ditonton. Apalagi pemandangan yang ditampilkan sangat indah. Membuat kita sadar bahwa alam Indonesia memang mempesona. Juga gambaran persahabatan remaja-remaja dari berbagai daerah di pelosok tanah air yang hidup dalam satu asrama, digambarkan dengan indah pula. Itulah Indonesia :).
*****
Dalam perjalanan pulang, aku merasa masih ada rasa kurang ‘klik’ dengan filmnya. Karena menurutku novelnya jauh lebih bagus. Semangat ‘Man jadda wajada’, terasa lebih hidup di novelnya. Tiba-tiba Lita meraih tanganku sambil berkata dengan wajah sumringah “Ma, filmnya bagus banget ya? Aku udah nyangka loh, pasti yang nonton banyak.. Tuh kan bener.. soalnya filmnya bagus sih.. Man jadda wajada!”. Alhamdulillah, ada rasa lega di hatiku saat mendengar kata-kata putriku itu. Ternyata pesan yang terkandung di film Negeri 5 Menara ini, sampai juga di hati dan pikirannya, walaupun dia tentu saja belum pernah membaca novelnya. Aaah, senangnya bisa memberikan hiburan yang mendidik untuk putriku :).
Tuh kaaaan...sudah diwanti-wanti ama hubby, katanya,"Yang namanya film Indonesia dari novel, pasti gak sesuai ama novelnya, jadi gak usah nonton filmnya, merusak imajinasi novel!"
ReplyDeleteHahaha....
Tapi kalau memang bisa mengajarkan anak2 kita, gak papalah ya kan cova? ^_^
Asiknya emak dan upik!
hahaha.. betul ya say.. keknya imajinasiku terlalu indah deh, jadinya mlh kecewa.. :D
Deletetp untungnya anakku seneng.. ga rugi deh ntn.. hehe..
Ya saya memang akan siap siap kecewa akan film ini bagi orang-orang yang udah pernah baca novelnya. Dari dulu saya menganggap film yang diadaptasi dari novel memang tak sebagus novelnya, laskar pelangi dan sang pemimpi contohnya. Kenapa? karena dalam novel itu masing-masing orang punya gambaran sendiri, kalau ada 5 orang yang baca novel, saya yakin dari 5 orang itu akan berbeda versi pula. Sedangkan film itu kan dari sudut pandang sutradaranya, jadi pasti berbeda dengan versi para pembacanya.
ReplyDeleteTapi yang terpenting adalah bahwa nilai yang ingin disampaikan dalam novel itu bisa sampai pula kepada para penontonnya :)
cb bikin pelemnya dr sudut pandangku ya.. dijamin ga mengecewakan.. hahaha.. << ngarep jd sutradara :P
Deleteiya, walopun banyak keterbatasan, yg penting pesannya sampai jg.. :D
Sepakat dengan Mbak Mayya dan mas Seadte: Memang yg terjadi biasanya seperti itu. Terlepas dari perubahan2 atau ketidaksamaan antara novel dan filmnya, semoga pesan pokoknya tetap tersampaikan dan perubahannya tdk merusak hal2 prinsipil dari novelnya.
ReplyDeletebetul2.. dan yg penting ttp menghibur.. hehe :D
DeleteJadi penasaran nih sob ingin nonton Film Negri 5 Menara..
ReplyDeleteayo ditonton aja, mumpung msh tayang
DeleteWah nggak kehilangan fokus lagi sob. Berarti mau jadi santri kalau ustadz sama seniornya ganteng nih.
ReplyDeleteEmang kebanyakan film sama novelnya lebih bagus novelnya. Semua pesan yang ingin ditampilkan ada semua, tanpa ada yang dipotong. Disamping itu kita bebas berimajinasi dengan gambaran kita sendiri. Entah watak dan rupanya, kita sendiri yang menggambarkan. Kalau di film, kita dipaksakan menerima tokohnya ya seperti itu sob.
kehilangan fokusnya cm sementara aja kok.. hihi.. jd malu nih :D
Deleteemang ya, imajinasi sndri tuh lebih indah.. Pdhl imajinasi kt blm tentu sama ma org lain
Aku malah kurang Interest mba sama film & buku Negeri 5 Menara,mungkin aku lebih suka sama buku saingan yang keren & lebih Universal yaitu 9 Summers 10 Auntumns yang bisa dikatakan lebih seru & memotivasi anak muda saat ini
ReplyDeletewah aku blm baca tuh, 9 Summers 10 Auntumns, keknya seru yah.. mo nyari ah :D
DeleteHeuheu, ana jadi tersenyum-senyum sendiri baca postingan ini. Kalau mau di bikin sama, bikin saja film bersambung (sinetron) sebanyak isi dalam novelnya dan sesuai dengan novelnya dan jangan di lebih2kan (jangan lebay).. Pasti semua bisa divisualkan. yang terpenting jangan seperti sinetron2 yang ada sekarang (maaf: KURANG MENDIDIK). Tapi syukurnya, filmnya menjadi pesan yang baik buat anak Mba Cova.
ReplyDeleteAna sih belum nonton. kalau ana tarik kesimpulan dari cerita Mba Cova di sini, 1. tidak sama dengan novelnya, 2. seperti cuplikan saja, 3. pemandangan indonesia Indah, 4. Persahabatan yang indah, 5. Pesan "man Jadda Wajada" sampai di hati dan fikiran anak Mba Cova.
hehehehe... Sotoy yaaa...
Salaaam... Semoga Barokah.
(ditunggu Sinetron 'negeri 5 menara'nya yaaaaa... hohoho)
kesimpulannya tepat bgt kok.. hehehe..
Deletewah klo dijadiin sinetron tktnya mlh jd lebay yah, maklumlah pembuat sinetron Indonesia emang mutunya jg krg bagus. Mendingan dibuat kek drama jepang aja kali ya, yg cm 11 episode, kekny pas tuh.. hehehe.. sotoy jg.. :D
saya juga kecewa pas nonton...tapi yah, klu bukan kita yang dukung film nasional siapa lagi? dari pada film yang begonoan mendingan film 5 menara...^^
ReplyDeleteiya, walaupun kecewa tp ttp kita dukunglah.. krn banyak nilai positifnya jg, dibanding film2 Indonesia yg lain..
DeleteAssalamualaikum, aku sudah nonton filmnya karena diajak teman mba. Tapi belum baca novel, menurutku filmnya berkualitas. Gak tahu kalau novelnya!
ReplyDeletewaalaikunsalam.. iya sbnrnya emang berkualitas kok, 'n banyak pelajarannya. Tp krn dah baca novelnya jd mo ga mo jd banding2in.. hehehe..
DeleteHarusnya dibuat lebih panjang dan sekuel emang filmnya, atau lebih cocok kalau dibuat sinetron kali yha.. setuju, bukan hanya banyak pemerannya yang kurang sesuai gambaran di novel namun banyak bagian bagian dalam novel yang justru tidak difilmkan.. tp baguslah daripada film hantu seksi atau lawakan lawakan lebay hehe
ReplyDeleteiya, tp jgn kek sinetron2 yg udah beredar ya.. lebay 'n episodenya kepanjangan. Cukup 10-12 episode ajalah.. :D
Deletememang yang paling kurang pas itu Kyai Rais, jauh banget dari kesan berwibawa.. hhmmm...
ReplyDeletekalau Kak Fahmi sih aku udah pernah nonton kehormatan di balik kerudung jadi ya hampir mirip lah
iya, ga rela bgt deh ikang Fawzi jd kyai Rais, abis ga da wibawanya sama skali..
Deletewah dia main disitu jg ya.. jd pengen ntn nih.. hihi
Benar sekali, Mbak, penting bagi kita untuk mengajak keluarga membaca buku yang inspiratif dan film semacam N5M ini. Hehehe..., bila kita udah baca novelnya, biasanya nonton filmnya kurang gimana gitu, karena kita sudah mengetahui detail novel. Demikian pula setelah saya membaca novel AAC dan LP lalu melihat filmnya. Tapi, apa pun itu, novel memang beda dengan film, sebaliknya.
ReplyDeletebetul2.. inspiratif dan mendidik. Klo buat yg males baca novel, film itu cocoklah, drpd baca novel beratus2 lembar. Tp teteplah, aku lbh suka baca novelnya.. :D
Deletetapi emang dimana mana kalo film diangkat dari novel itu biasanya kurang srek kak ya,.
ReplyDeletesoalnya belum tentu sesuai sama yang ada di imajinasi kita :D
iya, betul. Mending salah 1 aja ya.. baca novelnya aja, ato ntn filmnya aja... hehehe. Biar imajinasinya ga tabrakan.. :D
Deletebanyak banget yang ngomong kecewa ma filmnya...
ReplyDeletegag sebagus novelnya...
emang Sutradara2 kita belum mampu mewujukan fantasy dari sebuah novel...
ternyata banyak jg yg sependapat ma aku ya.. hehe..
Deleteimaginasi sutradaranya ga sedasyat imaginasi kita yah.. haha
bukan imajinasi sutradaranya masalahnya...
Deletetapi susah nyari pemain yang super ganteng kaya film2 barat yang juga bagus aktingnya biar bisa seperti imajinasi mba..
dia ngga ngajak aku jadi pemainnya siiii (Huuueeeeeekkkkk.... mau muntah silahkan) hihihi
selain itu peralatannya belum terlalu canggih...
adaptasi novel menjadi sebuah film memang kadang tak sesuai dengan apa yang dibayangkan saat membaca novel-nya..tapi setidaknya film ini menyegarkan suasana..ditengah maraknya film horror yang aneh bin ajaib :)
ReplyDeleteiya bener.. drpd nonton pelem pocong ya.. hihi..
Deletenice share post ^_^
ReplyDeletethanks ya ^_^
Deletewah aq blm sempet nonton dan baca novelnya..
ReplyDeletehiks...
ya ampun dihas kmn aja siih..? ketinggalan bgt deh.. hihihi.. :P
Deletesalam kenal yah mba.....
ReplyDeletesalam kenal juga ya.. ^_^
Deletepengen nonton filmnya ah~ kayaknya seru nih :D thnks review nya...
ReplyDelete*dunia-echie.blogspot.com
ayo2 ditonton.. cukup menarik kok..
Deletesama2.. :)
aku juga pernah nonton filmnya,pernah baca novelnya juga....tp menurut aku lebih menarik novelnya^^
ReplyDeletesetuju ama Atma.. aku jg lbh suka novelnya say.. :)
Deletesemoga lebih banyak lagi film-film di Indonesia seperti ini..
ReplyDeletepembangkit semangat dan motivasiii :D
betul sekali.. harusnya film2 kek gini yg beredar, bkn film2 pocong.. hehe
Deletewah menarik jugak film indonesia.
ReplyDeleteteringin nak tengok. indonesia itu unik ! :(
iya.. film indonesia yg ini memang menarik utk ditonton.. ayo kapan2 ihsan nonton jg ya.. :)
Deletepengen banget nonton Negri 5 Menara,,tapi gak ada temen nih untuk nonton bareng ya,,hehe :)
ReplyDeletenonton sndri aja.. ato kenalan ma penonton lain.. hihihi..
Deletethank you.. ^_^
ReplyDeletei'll visit u again..
jadi pengen lihat, beneran ganteng gak sih pemain yang disebutin tadi... *fokusnya malah yang lain*
ReplyDeletehihihi.. sama donk kita.. salah fokus.. klo penasaran, ayo ditonton aja pelemnya.. hehe
Delete