Run Away to Bali (Part 1)
Jakarta, 10 Juni 2011
Siang itu hatiku gundah dengan perasaan yang bercampur aduk. Aku sudah memutuskan untuk berangkat ke Bali bersama temenku Ayu, hanya berdua saja. Keputusan yang sudah bulat walau harus disertai dengan perjuangan yang tidak mudah. Terutama berjuang mengatasi perasaan sendiri. Perasaan bersalah karena kembali meninggalkan keluargaku demi kesenangan pribadi. Tapi sisi hatiku yang lain mengatakan aku butuh pelarian sejenak, aku butuh menyerap energi lebih besar untuk menghadapi hidup, aku butuh liburan ini. Ya aku harus berlibur.
Tapi siang itu aku kembali gundah. Widi, teman dekatku, muncul menyapaku di gtalk. Dia menanyakan alasanku pergi sendiri tanpa suami dan anak. Dan itu bukan sekedar pertanyaan biasa, dia berusaha mendapatkan jawaban serius dariku. Dia mengabaikan pelajarannya demi mengejar jawaban dariku. Aku sungguh tak ingin membahas tentang ini dengan dia, toh dia tak kan mampu mengerti apa yang aku rasakan, apa yang aku inginkan. Dia tak kan mengerti karena dia laki-laki. Dia bilang “aku punya prinsip aku akan membagi kebahagiaanku dengan keluargaku, jadi kemana pun aku pergi untuk bersenang-senang pasti aku ajak mereka”. Jleb.. rasanya seperti tertusuk tepat di jantungku. Tak tahukah dia, bahwa aku pergi bukan sekedar untuk bersenang-senang. Alasanku pergi untuk pemulihan diri. Aku takkan bisa membahagiakan anak-anakku jika jiwaku ini tidak sehat. Terusik dengan kata-katanya itu, akhirnya aku ungkapkan semua alasanku, dan aku tak peduli apa reaksinya. Tapi sungguh sebenarnya rasa bersalahku karena meninggalkan keluarga semakin menjadi karena kata-katanya. Walaupun akhirnya dia bilang dia mengerti alasanku, tapi rasa bersalah ini sudah terlanjur merasuk. Aku merasa alasan-alasanku itu hanya pembenaran saja. Sungguh… aku merasa bersalah..
Kintamani,11 Juni 2011
Bbbrrrrr… duuuiiiingiin sekaliiiii.. sampai menggigil tak tertahankan. Ke Kintamani tanpa memakai jaket sungguh suatu kesombongan yang besar, dan itu kulakukan. Siapa yang menyangka bakal dingin luar biasa seperti ini, terutama untuk orang-orang dari Jakarta yang sok pengen bergaya seperti kami ini.. hihihi. Pagi itu sebelum subuh kami sudah berangkat menuju Kintamani dengan harapan dapat menikmati sunrise di sana. Setelah perjalanan yang memakan waktu sekitar 2,5 jam akhirnya kami sampai. Ternyata kami tidak disambut oleh sunrise, tapi disambut oleh kabut yang tebaaaal sekali, bahkan jalan raya pun tak kelihatan. Konon di Kintamani itu ada danau dan gunung Batur. Wow bisa kau bayangkan indahnya panorama sunrise yang menyembul dari balik gunung dan danau. Sayang kami tak berhasil mendapatkan momen itu.
Tapi walaupun berkabut, Kintamani tetaplah menarik. Sepanjang jalan ada pura. Pura itu milik pribadi, jadi setiap rumah memiliki pura. Semakin besar puranya berarti semakin kaya orangnya. Bahkan di pasar Kintamani bisa kita temui beberapa pura. Nah ngomong-ngomong tentang pasar, kami akhirnya mampir ke pasar itu untuk mencari sarapan. Pasarnya lumayan bersih dan tidak berbau busuk. Di pasar itu banyak penjual sate ayam, bakso dan soto, makanan yang identik dengan udara dingin. Tapi jangan harap kamu bisa makan bakso sapi di sini. Disini adanya bakso ayam, sepertinya karena penduduk sini tak makan daging sapi. Di sini juga ada penjual makanan mirip warteg, tapi harus hati-hati karena kebanyakan penjualnya bukan muslim. Kalau di depan warung ada tempat sesaji, mending g usah makan di situ, diragukan kehalalannya. Akhirnya kami memutuskan makan sate ayam. Hmm.. sate ayamnya unik juga loh. Ukuran satenya kecil-kecil banget, tapi lontongnya banyak, trus bumbu kacangnya lebih encer. Pokoknya dengan harga sate seporsi Rp 4000 saja kita udah makan kenyang. Hehehe.
Makin siang malah kabutnya makin tebal, makin dingin pula, jadi kebelet pipis. Mampir ke toilet deh. Sebenarnya malas juga sih mampir ke toilet umum, pasti gak bersih dan bau. Aha.. lagi-lagi ada yang unik. Ternyata toiletnya bersih banget tak seperti dugaanku. Malah kelihatan seperti kamar kost-kostan. Dan di setiap pintunya ditempelin kain putih kecil ukuran 15 x 15 cm yang digambari lambang seperti matahari, maksudnya apa ya? Sepertinya semacam tolak bala.
Aku membayangkan Kintamani itu seperti tempat tinggalnya Edward Cullen. Dingin, berkabut, sering hujan, pohon-pohon tinggi, pokoknya mirip banget. Ditambah lagi di sini banyak anjing-anjing berbulu lebat seperti warewolf tapi dalam ukuran kecil. Bayanganku anjing itu jelmaannya Jacob Black yang berbodi seksi… hihihi.. maaf ya malah ngayal :D. Eh tapi jangan salah.. aslinya anjing di sini pinter-pinter. Bahkan konon katanya anjing kintamani itu anjing terpintar di dunia. Hmm.. sulit dipercaya..
Siang itu hatiku gundah dengan perasaan yang bercampur aduk. Aku sudah memutuskan untuk berangkat ke Bali bersama temenku Ayu, hanya berdua saja. Keputusan yang sudah bulat walau harus disertai dengan perjuangan yang tidak mudah. Terutama berjuang mengatasi perasaan sendiri. Perasaan bersalah karena kembali meninggalkan keluargaku demi kesenangan pribadi. Tapi sisi hatiku yang lain mengatakan aku butuh pelarian sejenak, aku butuh menyerap energi lebih besar untuk menghadapi hidup, aku butuh liburan ini. Ya aku harus berlibur.
Tapi siang itu aku kembali gundah. Widi, teman dekatku, muncul menyapaku di gtalk. Dia menanyakan alasanku pergi sendiri tanpa suami dan anak. Dan itu bukan sekedar pertanyaan biasa, dia berusaha mendapatkan jawaban serius dariku. Dia mengabaikan pelajarannya demi mengejar jawaban dariku. Aku sungguh tak ingin membahas tentang ini dengan dia, toh dia tak kan mampu mengerti apa yang aku rasakan, apa yang aku inginkan. Dia tak kan mengerti karena dia laki-laki. Dia bilang “aku punya prinsip aku akan membagi kebahagiaanku dengan keluargaku, jadi kemana pun aku pergi untuk bersenang-senang pasti aku ajak mereka”. Jleb.. rasanya seperti tertusuk tepat di jantungku. Tak tahukah dia, bahwa aku pergi bukan sekedar untuk bersenang-senang. Alasanku pergi untuk pemulihan diri. Aku takkan bisa membahagiakan anak-anakku jika jiwaku ini tidak sehat. Terusik dengan kata-katanya itu, akhirnya aku ungkapkan semua alasanku, dan aku tak peduli apa reaksinya. Tapi sungguh sebenarnya rasa bersalahku karena meninggalkan keluarga semakin menjadi karena kata-katanya. Walaupun akhirnya dia bilang dia mengerti alasanku, tapi rasa bersalah ini sudah terlanjur merasuk. Aku merasa alasan-alasanku itu hanya pembenaran saja. Sungguh… aku merasa bersalah..
Kintamani,11 Juni 2011
Bbbrrrrr… duuuiiiingiin sekaliiiii.. sampai menggigil tak tertahankan. Ke Kintamani tanpa memakai jaket sungguh suatu kesombongan yang besar, dan itu kulakukan. Siapa yang menyangka bakal dingin luar biasa seperti ini, terutama untuk orang-orang dari Jakarta yang sok pengen bergaya seperti kami ini.. hihihi. Pagi itu sebelum subuh kami sudah berangkat menuju Kintamani dengan harapan dapat menikmati sunrise di sana. Setelah perjalanan yang memakan waktu sekitar 2,5 jam akhirnya kami sampai. Ternyata kami tidak disambut oleh sunrise, tapi disambut oleh kabut yang tebaaaal sekali, bahkan jalan raya pun tak kelihatan. Konon di Kintamani itu ada danau dan gunung Batur. Wow bisa kau bayangkan indahnya panorama sunrise yang menyembul dari balik gunung dan danau. Sayang kami tak berhasil mendapatkan momen itu.
Tapi walaupun berkabut, Kintamani tetaplah menarik. Sepanjang jalan ada pura. Pura itu milik pribadi, jadi setiap rumah memiliki pura. Semakin besar puranya berarti semakin kaya orangnya. Bahkan di pasar Kintamani bisa kita temui beberapa pura. Nah ngomong-ngomong tentang pasar, kami akhirnya mampir ke pasar itu untuk mencari sarapan. Pasarnya lumayan bersih dan tidak berbau busuk. Di pasar itu banyak penjual sate ayam, bakso dan soto, makanan yang identik dengan udara dingin. Tapi jangan harap kamu bisa makan bakso sapi di sini. Disini adanya bakso ayam, sepertinya karena penduduk sini tak makan daging sapi. Di sini juga ada penjual makanan mirip warteg, tapi harus hati-hati karena kebanyakan penjualnya bukan muslim. Kalau di depan warung ada tempat sesaji, mending g usah makan di situ, diragukan kehalalannya. Akhirnya kami memutuskan makan sate ayam. Hmm.. sate ayamnya unik juga loh. Ukuran satenya kecil-kecil banget, tapi lontongnya banyak, trus bumbu kacangnya lebih encer. Pokoknya dengan harga sate seporsi Rp 4000 saja kita udah makan kenyang. Hehehe.
Makin siang malah kabutnya makin tebal, makin dingin pula, jadi kebelet pipis. Mampir ke toilet deh. Sebenarnya malas juga sih mampir ke toilet umum, pasti gak bersih dan bau. Aha.. lagi-lagi ada yang unik. Ternyata toiletnya bersih banget tak seperti dugaanku. Malah kelihatan seperti kamar kost-kostan. Dan di setiap pintunya ditempelin kain putih kecil ukuran 15 x 15 cm yang digambari lambang seperti matahari, maksudnya apa ya? Sepertinya semacam tolak bala.
Aku membayangkan Kintamani itu seperti tempat tinggalnya Edward Cullen. Dingin, berkabut, sering hujan, pohon-pohon tinggi, pokoknya mirip banget. Ditambah lagi di sini banyak anjing-anjing berbulu lebat seperti warewolf tapi dalam ukuran kecil. Bayanganku anjing itu jelmaannya Jacob Black yang berbodi seksi… hihihi.. maaf ya malah ngayal :D. Eh tapi jangan salah.. aslinya anjing di sini pinter-pinter. Bahkan konon katanya anjing kintamani itu anjing terpintar di dunia. Hmm.. sulit dipercaya..
sunrise yang malu-malu |
toilet yang mirip kamar kost |
to be continued *_^
Comments
Post a Comment